Memang penjelasan tentang takdir ini tidak sederhana, dan sangat
tergantung dari definisi dan pengertian kata ‘takdir’ itu sendiri. Saya
sendiri cenderung untuk mengikuti apa yang tertulis di Alkitab dan
pengajaran Gereja Katolik tentang hal ini, daripada mengikuti pengertian
yang berbeda-beda yang ada dalam masyarakat. Umumnya memang takdir dan
nasib diartikan sama, bahkan dalam bahasa Inggris juga demikian. Takdir
dan nasib umumnya diterjemahkan sebagai ‘destiny, fate’, yang artinya
mengarah kepada ’segala sesuatunya sudah ditentukan dari ‘Atas’ (yaitu
Tuhan) dan manusia tidak ada andil/ kehendak bebas untuk mengubahnya.
Dalam pengertian yang demikianlah Gereja Katolik tidak
mengajarkan ‘takdir’, justru karena Gereja mengajarkan adanya kehendak
bebas pada manusia yang dapat memilih hendak bekerjasama dengan kehendak
Allah atau tidak. Juga, kita dapat melihat perkataan ‘takdir’ tidak
muncul di dalam Alkitab. Ayat-ayat yang sering dikatakan menyebutkan
tentang konsep ‘predestination’ yang sering diartikan sebagai takdir,
adalah Rom 8:29-30 dan Ef 1:5, 11. Namun di sana yang dituliskan adalah
‘ditentukan’ oleh Allah, bukan ‘ditakdirkan’.
Sekarang, mungkin kita perlu menelaah, apa bedanya, arti ‘ditentukan’ dengan ‘ditakdirkan’? ‘Ditentukan’ di sini adalah berkaitan dengan kehendak Tuhan. Nah, dengan melihat uraian St. Thomas Aquinas (lihat ST, I, q.19), tentang dua macam kehendak Allah (the Will of God) secara umum, maka kita dapat lebih memahami tentang kehendak Allah ini:
- Antecedent Will: Kehendak Allah yang universal terhadap semua manusia, yaitu agar semua manusia di selamatkan. Inilah yang dikenal dengan ajaran ‘predestination’, yaitu bahwa Allah menghendaki semua manusia diselamatkan dan memiliki pengetahuan akan kebenaran (lih. 1Tim 2:4). Maka kita mengetahui bahwa Gereja Katolik, berpegang pada pengertian ini, mengajarkan konsep ‘predestination‘, yaitu bahwa Allah menghendaki semua orang diselamatkan. Yang tidak diajarkan oleh Gereja Katolik adalah ‘double predestination‘ yaitu bahwa Allah dari sejak awal sudah menentukan orang-orang yang akan masuk ke surga (diselamatkan) dan orang-orang yang masuk neraka (tidak diselamatkan), seperti yang diajarkan oleh Calvinism.
Gereja Katolik tidak mengajarkan konsep double predestination,
sebab ini bertentangan dengan hakekat Allah sendiri yang adalah Maha
Kasih dan Maha Adil. Sebab Kasih selalu menginginkan kebaikan terjadi
pada orang yang dikasihi, dan Keadilan selalu mengacu pada sesuatu yang
layak sesuai dengan yang seharusnya. Menentukan seseorang yang tidak
bersalah langsung ke neraka, itu bertentangan dengan sifat Keadilan,
karena itu tidak mungkin dilakukan oleh Tuhan, sebab Tuhan tidak mungkin
menyangkal DiriNya sendiri (lih. 2 Tim 2:13).
- Consequent Will: Kehendak Allah yang melibatkan pihak kehendak bebas manusia; sehingga meskipun Allah menghendaki semua manusia diselamatkan, namun karena Allah menghormati keputusan kehendak bebas manusia yang menolak-Nya, maka tidak semua dari yang ditentukan Allah sejak semula untuk diselamatkan, dapat diselamatkan.
Dengan prinsip yang sama, maka bukan Tuhan yang menghendaki kejahatan
terjadi, sebab yang terjadi sesungguhnya manusia dengan kehendak
bebasnya yang berbuat jahat. Dalam hal ini, Tuhan mengizinkan hal
kejahatan itu terjadi, karena Ia menghormati kehendak bebas manusia
yang diciptakan-Nya. Inilah yang dikenal sebagai penderitaan yang
disebabkan oleh dosa manusia. Namun kenyataannya, ada pula penderitaan
yang tidak disebabkan oleh dosa, yang dikenal sebagai ‘the suffering of the innocent‘.
Pada kedua jenis penderitaan ini hal ini, meskipun hal yang jahat/
buruk terjadi dalam hidup manusia, itu tidak mengejutkan Tuhan, karena
Tuhan sudah mengetahui segala sesuatunya sejak awal mula, dan Ia dengan
kuasa-Nya pula tetap dapat memasukkan keadaaan yang negatif tersebut ke
dalam rancangan-Nya yang mendatangkan kebaikan. Dalam hal ini kebaikan
yang dirancangkan Tuhan adalah untuk membawa seseorang kepada pertobatan, membentuk karakter orang yang bersangkutan, dan mendatangkan kasih,
atau agar orang tersebut mengalami pengalaman dikasihi, baik oleh Tuhan
maupun oleh orang lain. (Lebih lanjut mengenai hal ini, silakan baca
Surat Apostolik Bapa Paus Yohanes Paulus II, Salvifici Doloris, atau beberapa point ringkasannya yang saya tuliskan di sini (silakan klik).
Soal kita dilahirkan tidak dapat memilih sendiri, itu memang benar.
Namun dalam hal kita dilahirkan sebagai laki-laki atau perempuan, kita
lebih baik menyebutkannya sebagai ‘diciptakan’ (bukan ‘ditakdirkan’)
sebagai laki-laki atau perempuan. Pertama-tama, karena Alkitab
menyebutkannya demikian. “Maka Allah menciptakan
manusia menurut gambar-Nya; …laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya
mereka” (Kej 1:27). Allah- lah yang menciptakan jiwa manusia, sebagai
laki-laki atau perempuan. Kedua, kita melihat hal penciptaan Allah ini
melibatkan juga kehendak bebas dari orang tua kita,
karena kita dilahirkan sebagai buah kasih mereka sebagai suami istri.
Dengan demikian, dalam hal ini, penciptaan manusia tidak semata-mata
‘takdir’ yang seolah-olah hanya dari ‘Atas’, sebab kenyataannya ada
campur tangan manusia juga walaupun itu bukan campur tangan dari
janin-nya, tapi dari orang tuanya. Peran orang tua itulah yang
menyebabkan seseorang lahir dalam keluarga tertentu, punya kakak dan
adik tertentu. Walaupun, tentu saja, Allah mengetahui semuanya ini sejak
awal mula.
Demikian pula jika kita melihat soal kematian. Kematian merupakan
akibat kejatuhan manusia ke dalam dosa. “Upah dosa adalah maut” (Rom
6:23). Sesungguhnya Allah tidak menginginkan kita mati, sebab kematian,
penyakit, kecelakaan dan sebagainya bukan merupakan rancangan Tuhan. Yer
29:11 mengatakan, “Sebab Aku mengetahui rancangan-rancangan apa yang
ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman Tuhan, yaitu rancangan
damai sejahtera dan bukannya rancangan kecelakaan, untuk memberikan
kepadamu hari depan yang penuh harapan.”
St. Thomas mengatakan, “God therefore
neither wills evil to be done, nor wills it not to be done, but wills to
permit evil to be done; and this is a good.” (Tuhan tidak
menghendaki hal yang jahat terjadi, atau menghendaki itu tidak terjadi,
tetapi mengizinkan hal yang jahat itu terjadi, dan ini merupakan
kebaikan). Jadi, jika ada hal yang buruk terjadi di dalam kehidupan
kita, kita dapat melihatnya demikian: Allah mengizinkan hal buruk itu terjadi dalam kehidupan kita, sebab Ia melihat bahwa itu dapat mendatangkan kebaikan bagi kita.
Maka oleh kuasa kasih Allah, segala bencana, penyakit, bahkan kematian,
dapat mendatangkan kebaikan bagi kita yang mengasihi Tuhan (lih. Rom
8:28). Dengan iman kita kepada Kristus, kematian bagi kita malah
merupakan gerbang untuk menuju kehidupan kita yang sesungguhnya, yaitu
kehidupan kekal bersama Tuhan.
Dalam hal kematian, sama seperti kelahiran, terdapat banyak faktor yang
terlibat, misalnya, meninggal karena kecelakaan lalu lintas, disebabkan
karena kecerobohan pengendara; atau orang yang meninggal karena sakit
tertentu, mungkin karena pola makan dan istirahat yang tidak teratur,
dst, yang melibatkan kehendak bebas/ faktor manusia juga. Kenyataannya
memang orang lahir dan mati di luar keinginan sendiri, namun ini menurut
pengetahuan saya, tidak umum disebut ‘takdir’ oleh Gereja. Atau
tepatnya, Gereja tidak menyebutnya sebagai takdir. Namun jika ada orang
yang tetap memakai istilah ini, ya silakan saja, hanya perlu diberi
pengertian yang lebih rinci. Saya sendiri mengusulkan, agar kita tidak
memakai istilah ‘takdir’ ini, justru karena artinya yang rancu, dan
kalau tidak ada penjelasan yang lebih lanjut, dapat mengarah kepada
kesalahpahaman.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati – http://www.katolisitas.org
Ingrid Listiati – http://www.katolisitas.org
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.